Sedang viral jenazah ABK asal Indonesia di yang bekerja di kapal China dibuang ke laut.
Ternyata sebelumnya ada juga jenazah ABK sekaligus pemuda asal Enrekang Sulsel diperlakukan serupa.
Kenapa diperlakukan tak manusiawi?
ABK tersebut juga meninggal karena sakit, namun riwayat penyakitnya tak diumumkan secara jelas.
Sebuah video yang dipublikasikan oleh media Korea Selatan memperlihatkan bagaimana jenazah Anak Buah Kapal ( ABK ) asal Indonesia yang bekerja di kapal China dilempar ke tengah laut.
Video yang dirilis oleh stasiun MBC itu diulas oleh YouTuber Jang Hansol di kanalnya, Korea Reomit, pada Rabu waktu setempat (6/5/2020).
Dalam video itu, kanal MBC memberikan tajuk "Eksklusif, 18 jam sehari kerja. Jika jatuh sakit dan meninggal, lempar ke laut".
"Video yang akan kita lihat habis ini adalah kenyataan pelanggaran HAM orang Indonesia yang bekerja di kapal China," ujar Jang Hansol menirukan penyiar tersebut.
Dalam video itu, disebutkan MBC mendapatkan rekaman itu setelah kapal tersebut kebetulan tengah bersandar di Pelabuhan Busan, Korea Selatan.
Berdasarkan terjemahan yang disampaikan oleh Hansol, orang-orang Indonesia itu meminta bantuan kepada pemerintah Korea Selatan dan media setempat.
Pada awalnya, pihak televisi tidak bisa memercayai rekaman tersebut.
Apalagi ketika hendak dilakukan pemeriksaan, kapal itu disebutkan sudah kembali berlayar.
Dalam terjemahan yang dipaparkan Hansol, pihak televisi menyatakan dibutuhkan adanya penyelidikan internasional untuk memastikan kabar itu.
Dalam berita, video itu disebutkan bertanggal 30 Maret di Samudera Pasifik bagian barat, di mana terdapat sebuah kotak dibungkus kain merah.
Berdasarkan terjemahan dari Jang Hansol, kotak yang ditempatkan di geladak kapal adalah Ari, pria yang berusia sekitar 24 tahun.
Disebutkan bahwa dia sudah bekerja lebih dari satu tahun dan meninggal.
Di video, tampak seorang kru mengguncang dupa dan menaburkan cairan sebagai bentuk upacara pemakaman di sana.
"Apa kalian (ada yang ingin disampaikan) lagi? Tidak? Tidak?" tanya seorang kru kepada orang yang berada di bagian atas kapal.
Setelah melakukan "upacara" tersebut, jenazah kemudian dibuang ke tengah laut.
"Dan Mas Ari menghilang di tempat yang kita tidak tahu kedalamannya," kata Jang Hansol menirukan pembawa suara.
Dalam video tersebut, sebelum Ari meninggal sudah ada Muhammad Alfatah yang disebut berusia 19 tahun dan Sepri (24), di mana mereka juga dibuang ke laut ketika meninggal.
Muhammad Alfatah adalah ABK asal Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan ( Sulsel ).
Setelah itu, MBC menayangkan surat pernyataan yang ditandatangani oleh para ABK, di mana terdapat bagian penanganan jika mereka wafat.
Dalam bagian yang ditandai warna oranye, terdapat kesepakatan jika sampai terjadi musibah dan wafat, maka jenazahnya akan dikremasi.
Nantinya, proses kremasi itu akan dilaksanakan ketika kapal bersandar di suatu tempat, dengan catatan abunya akan dipulangkan ke Indonesia.
Apalagi dalam kesaksian salah satu kru kapal yang wajahnya diburamkan, dia mengaku bahwa jenazah mereka akan dikremasi di tempat terdekat.
Dalam surat itu, terdapat juga pernyataan mereka akan diasuransikan sebesar 10.000 dollar AS, sekitar Rp 150 juta, yang akan diserahkan kepada ahli waris mereka.
Setelahnya, Jang Hansol mengartikan bagian selanjutnya di mana ada yang bersaksi tempat kerja mereka cukup buruk dan terjadi eksploitasi tenaga kerja.
Dikatakan bahwa rekan kerja yang meninggal itu sudah sakit selama satu bulan.
Disebutkan bahwa korban awalnya kram.Setelah itu menurut pria yang bersaksi di video, rekannya mengalami pembengkakan di bagian kaki, sebelum menjalar ke tubuh dan mengalami sesak.
Dalam tayangan itu, disebutkan bahwa pelaut dari China minum air botolan dari tanah.
Namun kru Indonesia diminta minum air laut.
Seorang pelaut yang bersaksi mengungkapkan, dia merasa pusing karena tidak biasa meminum air laut, dan mengaku seperti ada dahak yang keluar dari tenggorokan.
Dalam tayangan itu, disebutkan bahwa mereka bekerja sehari selama 18 jam, di mana si pelaut menuturkan dia pernah berdiri selama 30 jam.
Kemudian mereka mendapat enam jam untuk makan, di mana pada waktu inilah saksi mengungkapkan mereka memanfaatkannya untuk duduk.
Penyiar memaparkan bahwa setiap staf kapal bekerja di lingkungan yang mirip dengan perbudakan.
Pengacara dari Pusat Hukum Publik Kim Jong-cheol menyatakan ada eksploitasi dan pengaturan yang mengikat mereka.
Selain itu, Pengacara Kim menjelaskan bahwa ada kemungkinan paspor mereka disita dan terdapat uang deposit agar mereka tidak berusaha kabur.
Selama bekerja di sana selama sekitar 13 bulan, lima kru kapal itu menerima gaji sekitar 140.000 won, atau sekitar Rp 1,7 juta.
Jika dibagi per bulan, para pelaut itu hanya menerima sekitar Rp 11.000 won, atau Rp 135.350. Kapal itu disebut adalah kapal penangkap tuna.
Namun dalam beberapa kesempatan, disebutkan mereka bisa menangkap hiu, di mana hewan itu akan ditangkap menggunakan tongkat panjang.
Setelah itu, mereka akan memotongnya di mana sirip hiu dan bagian tubuh lainnya akan disimpan di dalam kapal secara terpisah.
Aktivis lingkungan Korea Selatan Lee Yong-ki mengatakan, kabarnya bisa lebih dari 20 ekor hiu yang ditangkap setiap hari.
Dia menuturkan ada kabar bahwa terdapat 16 kotak sirip hiu.
Jika satu kotak beratnya 45 kilogram, maka ada sekitar 800 kilogram.
Dalam laporan itu, disebutkan kelompok pemerhati lingkungan hidup yakin, kapal tersebut khawatir jika aktivitas ilegal mereka ketahuan.
Oleh karena itu, jika terjadi kematian di antara ABK, mereka akan terus melanjutkan operasi tanpa harus bersandar di pelabuhan.
Menurut Lee, dia menduga karena terlalu banyak sirip hiu, maka kapal tersebut tidak bisa berlama-lama berada di suatu tempat.
Sebab, jika sampai diperiksa oleh biro pelabuhan atau bea cukai, mereka akan mendapat sanksi berat karena kegiatan mereka.
Pada pekerja yang merasa tidak puas dilaporkan pindah ke kapal lain dan tiba di Pelabuhan Busan pada 14 April, namun harus menunggu selama 10 hari.
Saat menunggu itulah, seorang pelaut dikabarkan mengeluh sakit di dada, dan segera dilarikan ke rumah sakit terdekat, di mana dia meninggal pada 27 April.
Kelompok HAM yang menyelidiki kematian empat orang di kapal kemudian melaporkannya kepada Garda Penjaga Pantai Korea Selatan (KCG), untuk segera menyelidikinya.
Seoul dilaporkan bisa melakukan investigasi, karena pada 2015 mereka meratifikasi perjanjian internasional untuk mencegah perdagangan manusia.
Termasuk di dalamnya kerja paksa dan eksploitasi seksual.
Namun dua hari setelah peristiwa itu, kapal tersebut langsung meninggalkan lokasi sehingga investigasi tak bisa dilanjutkan.
Untungnya, demikian terjemahan yang dipaparkan Jang Hansol, masih ada pelaut yang berada di Busan, di mana mereka ingin melaporkan pelanggaran HAM.
Kru tersebut dilaporkan sudah meminta pemerintah Korea Selain untuk menggelar penyelidikan menyeluruh, di mana mereka mengaku ingin memberi tahu dunia tentang apa yang mereka alami.
Penjelasan Kementerian Luar Negeri RI
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri memberikan penjelasan terkait dengan penanganan jenazah yang dilakukan di kapal, yang diidentifikasi bernama Long Xin 629 dan Long Xin 604.
Dijelaskan bahwa pada Desember 2019 dan Maret 2020, terjadi kematian pada tiga ABK asal Indonesia ketika mereka tengah berlayar di Samudera Pasifik.
Kapten kapal kemudian memutuskan untuk melarung jenazah karena kematian disebabkan penyakit menular, dan sudah mendapat persetujuan dari kru kapal lainnya, sesuai dalam poin tiga rilis yang tercantum di situs Kemlu.
KBRI Beijing kemudian menyampaikan nota diplomatik untuk meminta klarifikasi mengenai kasus yang tengah terjadi.
Dalam penjelasannya, Kementerian Luar Negeri China menerangkan bahwa pelarungan telah dilakukan sesuai praktik kelautan internasional untuk menjaga kesehatan kru kapal lainnya.
Meski begitu, guna meminta penjelasan mengenai pelarungan jenazah apakah sudah ketentuan Badan Pekerja Dunia (ILO), maupun mengenai perlakuan yang diterima ABK WNI lainnya, Kemlu akan memanggil Duta Besar China.
Jenazah ABK Asal Enrekang Juga Dibuang ke Laut
Muhammad Alfatah, ABK asal Dusun Banca, Desa Bontongan, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, meninggal dunia di kapal Long Xin 802 dan jenazahnya dilarung ke laut, 27 Desember 2019.
Peristiwa ini sempat menyita perhatian publik di Sulsel.
Diberitakan Tribun-Timur.com pada Januari 2020, saat mendapat kabar kematian Muhammad Alfatah, keluarga sebenarnya sangat berharap jenazah Alfatah dibawa ke kampung halamannya.
"Kami sangat ingin melihat jenazahnya, tapi mungkin itu sudah hal yang mustahil," kata kakak kandung Alfatah, Rasyid, Senin (20/1/2020).
Muhammmad Alfatah dikabarkan meninggal dunia di kapal karena sakit.
Rasyid enggan berspekulasi mengenai kebenaran penyebab kematian adiknya, anak ke-7 dari 9 bersaudara.
"Kami tidak ingin berpikir macam-macam terkait penyebab kematiannya, karena sudah diikhlaskan," katanya.
Keluarga juga menggelar salat gaib di rumah mereka untuk mendoakan almarhum.
Almarhum adalah anak dari pasangan Hardin dan Rali'.
Ia merupakan lulusan SMK Pelayaran Lintas Nusantara di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.
Sejak tahun 2017, kata Rasyid, adiknya tersebut mulai berlayar.
Rasyid mengaku, terakhir berkomunikasi dengan adiknya itu sejak setahun yang lalu.
"Terakhir komunikasi setahun lalu, saat ini dia (Alfatah) masih di Hong Kong, pas di bandara menuju Korea dia sempat nelepon, dan setelah itu tidak pernah ada kabar lagi," ujarnya.
Kabar kematian Muhammad Alfatah baru diketahui oleh keluarga setelah viral di media sosial.
Rasyid melihat sebuah foto yang sangat mirip dengan adiknya.
Ia juga membaca keterangan ABK dibuang ke tengah laut.
Tak lama kemudian, ia menerima sebuah surat yang menyebut bahwa adiknya telah tiada.
"Pas viral bersamaan itu ada surat datang," ujarnya.
Surat itu mengabarkan, adiknya telah meninggal dunia.
Muhammad Alfatah dikabarkan meninggal setelah mengalami sakit saat sedang melaut pada 18 Desember 2019.
Hal itu tercantum dalam surat dari Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Muhammad Alfatah disebutkan mengalami bengkak pada kaki dan wajah, nyeri dada dan napas pendek.
Meski sempat diberikan obat, kondisi Muhammad Alfatah tak kunjung membaik.
Muhammad Alfatah kemudian dipindahkan ke kapal Long Xin 802 yang akan berlabuh di Samoa (sebuah negara kepulauan di Samudera Pasifik) lalu dibawa ke rumah sakit.
Pemindahan dilakukan pada 27 Desember 2017 pukul 13.30 WIB.
Delapan jam setelah dipindahkan, Muhammad Alfatah meninggal.
Jasad Muhammad Alfatah akhirnya dibuang ke laut.
Alasannya, letak daratan masih jauh hingga ketakutan penyakit menular yang bisa menjangkiti kru lainnya.
Dilansir Wikipedia.org tentang burial at sea, pemakaman jenazah di laut dengan cara dilarung adalah hal yang biasa dan menjadi tradisi yang dilakukan di kapal laut atau pesawat terbang.
Dilansir Wikipedia.org tentang burial at sea, pemakaman jenazah di laut dengan cara dilarung adalah hal yang biasa dan menjadi tradisi yang dilakukan di kapal laut atau pesawat terbang.
Sebelum dilarung, jenazah mendapatkan penghormatan dan dilakukan upacara yang layak sesuai dengan agama yang dianut.
Upacara biasanya dilakukan dengan cara penguburan di dalam peti mati, dijahit dengan kain lalu dilarung ke laut.
Sebagian juga melarung abu kremasi jenazah dari sebuah kapal.(kompas.com/tribun-timur.com)